Minggu, 02 November 2008

Anis Adikku Sayang



Siang itu matahari bersinar terik aku melangkah gontai, setelah seharian sekolah badan ini capek rasanya. Imanarinansia itu namaku! Umurku 8 tahun, kelas 3, panggil saja aku Ima. Aku punya adik namanya Anisyalimatria. Ugh….panjang ya? Tapi kalian bisa memanggilnya Anis! Umurnya baru 4 tahun, sudah bersekolah ti Tk kelas B. anaknya gemuk dan lucu, pipinya seperti kue bakpau, bibirnya mungil, matanya bulat jernih.

Kalian pasti menyangka bahwa aku senang ppunya adik selucu Anis, tapi nyatanya tidak sama sekali! Aneh ya? Bagiku kehadiran Anis hanya membuat hari-hariku berubah menjadi dipenuhi rasa sedih, kesal,sebal…ah pokoknya segudang kesialan selalu mengisi hari-hariku.

Kalian pasti tidak percaya! Oke deh aku ceritain ya!
“Bunda, …bunda …lihat Anis sudah bisa menulis!” Anis berteriak kegirangan sambil mengacung-ngacungkan selembar kertas bergambar Barbie yang sudah penuh dengan coretan huruf-huruf yang tak beraturan. Aku tertegun melihatnya, bukan karena kagum tapi…ya ampun kertas yang dipakai Anis itu kan kertas surat koleksiku. Wah, map yang kupakai untuk menyimpan koleksi kertas surat itu tergeletak di lantai dengan isinya yang sudah berantakkan. “Anis, kenapa pake kertas itu? Kamu tuh nakal!” teriaku sambil membereskan kertas surat yang berantakkan. “wa…wa…bundaaaa!” tangis Anis sambil berlari kearah bunda yang sedang menyiapkan makan malam. Dengan penuh kasih sayang bunda menenangkan Anis, tangisnya makin kencang tapi aku tak peduli. Hatiku sedih sekali. Bukan sekali itu saja Anis merusak dan mengacaukan semuanya, tapi sering sampai aku muak rasanya.

“Anis sayang sudah yaaa……, ini bunda punya permen!” bujuk bunda sambil menggendong Anis. “Ima, kenapa sih kamu selalu mengganggu adikmu?” bunda menegurku sambil mendudukkan Anis di kursi. “Habis bunda, Anis merusak kertas surat koleksiku! Lihat deh, jadi berantakan dan kusut semuanya!” ujarku. “Ya, kamu yang salah. Makanya kalau menyimpan sesuatu itu jangan sembarangan.” ah,..bunda. selalu saja begitu. Setiap Anis menangis selalu aku yang disalahkan. Usai makan malam aku masuk kamar, setelah membaca buku pelajaran dan menyiapkan buku untuk sekolah besok, aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Tak terasa malam telah larut, kulihat jam berbentuk bebek di atas meja menunjukkan jam setengah sepuluh. Ah…rasanya susah sekali mata ini dipejamkan. Pikiranku melayang teringat kelakuan Anis. Gara-gara dia, aku jadi sering dimarahi bunda. Padahal bukan aku yang salah, sebel! Tingkah Anis memang bikin sebel, pernah dia menyobek tugas kliping sains, mematahkan penggaris, mencoret-coret buku catatan bahasa Indonesia! Dan masih banyak lagi ulahnya yang menyebalkan. Dan kalau aku mengadukannya pada bunda, selalu aku yang dimarahi. Anehkan!

Pagi terasa dingin ketika aku membuka mata, lalu bergegas ke kamar mandi. Tapi, mana air panas untuk mandi? Biasanya bunda sudah menyiapkan. “bundaaa! Air panasnya kok gak ada? Ima mau mandi!” teriakku dari dalam kamar mandi. “Ima, kali ini mandi air dingin aja ya! Bunda gak sempet bikin, soalnya bunda bangun kesiangan. Semalaman tidak tidur” jawab bunda sambil membawa handuk. “Yaaaa bunda, kan dingin! Kenapa sih bunda bangun kesianggan?” tanyaku sambil m,enyikat gigi. “semalam Anis badannya panas, jadi bunda mengompresnya” ujar bunda sambil membuat nasi goreng untuk sarapan. Huh…lagi-lagi Anis, sebel! “bunda, kenapa telurnya disatuin? Kan biasanya telur dadar?” protesku ketika kulihat sepiring nasi goreng tanpa telur mata sapi kesukaanku. “aduh, bunda lupa gak apa-apa ya!...kan sama saja” sambung bunda sambil menyodorkan segelas susu coklat panas. Ah…pasti bunda lupa gara-gara mikirin Anis, sebel! “Ima gak mau! Gak suka!” brak…aku membanting sendok. “Ima, gak boleh begitu, ayo dimakan!” aku tak menghiraukan teguran bunda dan bergegas ke sekolah tanpa sarapan pagi.

Pulang sekolah perutku terasa lapar sekali, tapi sesampainya di rumah terasa sepi. “bundaaa…bunda….!” Panggilku. Aneh, kenapa rumah dikunci begini ya? Bisikku dalam hati. “eh, Ima sudah pulang?” Tanya Bu Agus, tetangga sebelah menghampiriku sambil memberikan kunci rumah. “loh, bunda kemana tante?” “tadi bunda ke rumah sakit, kalau Ima mau lebih baik nunggu bundanya di rumah tante aja” ajak Bu Agus. “siapa yang sakit?” tanyaku heran. “Anis, tadi dia muntah dan demam tinggi. Bunda sudah membawanya ke klinik depan, tapi dokternya bilang Anis harus dibawa ke rumah sakit. Maklum sekarangkan lagi musim demam berdarah” deg,…jantungku terasa berhenti. Anis dibawa ke rumah sakit? Demam berdarah? Gak mungkin! “ya udah tante, Ima nunggunya di rumah aja. Gak apa-apa kok” kataku sambil membuka pintu.

Kuhempaskan badanku ke atas tempat tidur, hilang sudah rasa lapar yang tadi tak tertahan. Bagaimana kalau betul Anis sakit demam berdarah? Dina teman sebangkuku bilang, waktu dia sakit demam berdarah harus dirawat 5 hari di rumah sakit. Setiap hari diambil darah dengan jarum suntik, dan diinfus. Hi…aku tak sampai hati membayangkan jarum-jarum itu disuntikkan ketangan Anis yang gendut dan empuk. “heh, kok melamun?” Tanya ayah mengagetkanku. Rupanya bunda menelpon ayah yang sedang berada di luar kota. “ayah tahu Anis sakit demam berdarah?” tanyaku. Ayah tersenyum, lalu duduk disebelahku. “kata siapa? Itu kan baru perkiraan dokter, makanya sekarang kita berdoa, mudah-mudahan Anis hanya masuk angin biasa.” “kamu sayang Anis kan? Doa seorang kakak yang tulus pasti didengar Allah” sambung ayah sambil mengusap rambutku. Aku terdiam, tak terasa air mataku mengalir, teringat akan semua kekesalanku pada Anis. Ya Allah,…sembuhkanlah Anis, berilah aku kesempatan untuk menjadi kakak yang baik untuknya amiiiin!

Tidak ada komentar: